Pertanyaan selanjutnya adalah “dimana sebenarnya kembang-kembang itu berada sehingga Bandung dijuluki kota kembang?”. Lucunya para wisatawan sering bilang begini, “pantes Bandung dijuluki kota kembang, banyak penjual bunga di malam minggu di setiap perempatan Dago. Whalah, kota kembang ternyata hanya dikaitkan dengan penjual bunga dadakan dan hanya seminggu sekali itu. Lalu dimana kembangnya? apakah di toko bunga? atau di Cihideung sana yang memang tempat pertanian bunga?. Kemungkinan lainnya adalah mungkin saja kembang yang dimaksud itu bukan kembang sungguhan, alias kembang dengan makna lain. Mungkinkah kembang yang dimaksud itu adalah mojang Priangan? yang tenar seantero Indonesia itu dengan predikat baik dan buruknya?.
Fakta yang menunjukkan bahwa pada mulanya gelar Bandung kota kembang memang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kembang atau bunga dalam arti sebenarnya. Pada awalnya pertama kali orang menghubung-hubungkan “kembang” dengan Bandung, rasanya di kota ini baru ada satu taman bunga. Pertanyaan yang muncul di awal kemudian muncul kembali, dimana sebenarnya letak kembang di kota Bandung?. Apakah hanya karena punya satu taman bunga saja berani memikul julukan Bandung kota kembang alias “bloemen stad” ?.
Dalam novel karya Remy Sylado yang berjudul “Parisj van Java, Darah, Keringat, Airmata”. Dalam novel ini menunjukan makna yang tersembunyi dari julukan Bandung kota kembang itu. Dengan latar belakang Hindia-Belanda, khususnya Bandung 1920-an, sepasang kekasih berjuang melawan sekelompok orang yang menjebak mereka dalam dunia “persundalan” (kata ini asli dikutip dari bukunya). Dalam buku karya kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dia juga menyinggung soal ini namun tak berani dijabarkan dengan jelas olehnya.
Pada akhir abad ke 19, tepatnya tahun 1896, kampung Bandung (saat itu belum disebut kota) mendadak dapat kehormatan Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suiker Planters) yang berkedudukan di Surabaya, telah memilih kampung Bandung, buat tempat menyelenggaraan kongresnya yang pertama. “Kota” Bandung kelewat miskin dan sederhana buat memikul tanggung jawab sebagai pemyelenggara kongres. Bahkan pada masa itu orang-orang Belanda luar kota, sering menyebut Bandung sebagai Kottatje (kota mungil).
Akibat kurang komplitnya fasilitas “kota” Bandung maka orang yang paling khawatir pada saat itu adalah Meneer Jacob dari Panitia Kongres Seksi Sibuk. “Bagaimana sih caranya, agar Kongres mencapai sukses?” begitu persoalan teknis yang berkecamuk di otak tuan Jacob. Untunglah datang dewa penolong.
Dia adalah Meneer Schenk, seorang pendahulu Preanger Planters ( Tuan perkebunan/onderneming) di Priangan yang terkenal royal. Buat memeriahkan dan mensukseskan kongres, diboyongnya segudang Noni cantik Indo Belanda anak jadul dari Perkebunan Pasirmalang, buat menghibur peserta kongres. Maka dapat diramalkan dengan segera bahwa penyelenggaraan kongres menjadi ‘beres’ dan ’sukses besar’. Memang buat para Pengusaha Perkebunan Gula yang kebanyakan datang dari kota-kota Jawa Tengah dan Jawa Timur, berkongres di Bandung, benar-benar merasa “lekker kost zonder ongkos”.
Melalui mulut para peserta kongres inilah, Bandung disebut sebagai “De Bloem der Indische Bergsteden” (bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda). Masih belum jelas apakah “Bloem” (bunga/kembang) yang diucapkan oleh para Pengusaha Perkebunan Gula ini, ditujukan kepada kota Bandung, ataukah gelar tersebut “persembahan” buat Noniek Noniek Geulis Indo Belanda dari Onderneming Pasirmalang? Entahlah cuma sejarah jualah yang lebih tahu. (Haryoto Kunto: Wajah bandoeng Tempo Doeloe)
Tety Kadi pernah menyanyikan lagu dengan syair seperti ini,
Kota kembang yang selalu sangat kurindukanDisana aku dilahirkan, diasuh ayah bundaTiada pernah aku lupakan hingga dewasa…
Kalau menurut orang Sunda,
“henteu bukti henteu nyata, eta bohong ngarana” (tidak ada bukti, tidak nyata, itu bohong namanya). Bandung kota kembang, kata siapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar