Jumat, 22 Februari 2013

Saat Alam Menghamili Padi (Published - Pikiran Rakyat)





Minggu ini saya akan pergi ke Bali—ke Ubud, tepatnya. Tempat di mana sawah menjadi bagian inheren dari pariwisata. Penginapan tempat saya biasa menginap juga dikelilingi sawah, yang jaraknya hanya sekian langkah dari teras kamar.

Terakhir kali ke sana, saya sempat menontoni seorang bapak tua membajak sawah dengan bajakan sederhana yang harus ia tarik mengelilingi sawah. Jangankan mesin, pakai bantuan kerbau pun tidak. Sesekali, ia menggemburkan tanah dengan kakinya sendiri.

Sambil sarapan pagi, saya membatin dalam hati: “Kapan pertanian Indonesia bisa maju kalau begini caranya?” Sementara pertanian di Amerika sudah hampir seluruhnya dioperasikan mesin, bapak tua itu masih membajak tanah dengan cara yang barangkali sama dengan para petani seratus tahun lalu. Memandangnya bergerak lamban menyusuri lumpur seolah menyaksikan artefak kuno diarak di Silicon Valley. Sungguh ironis, pikir saya waktu itu.

Saat check-out, perhatian saya tiba-tiba tertumbuk pada satu kata yang tak pernah saya perhatikan, meski saya melihatnya setiap hari, yakni nama hotel tempat saya menginap: “Biyukukung”. Dan saya tergerak untuk bertanya pada sopir hotel, “Beli, Biyukukung artinya apa?” Dia lantas menjelaskan, Biyukukung adalah nama upacara yang dilakukan saat padi “hamil”. Saya spontan tertawa geli. Baru kali itu saya mendengar kata “hamil” diperuntukkan buat padi.

Namun, entah kenapa, konsep padi hamil itu terus mengusik pikiran saya. Setibanya di rumah, saya melakukan riset kecil-kecilan. Dalam sebuah jurnal tentang sistem Subak, yang waktu zaman sekolah dulu saya kenal sebagai sistem irigasi sawah di Bali, saya terhanyut dan tercengang melihat begitu sakralnya sistem pertanian tradisional Bali. Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekadar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani Bali bahwa pertanian merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas. Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat dan para Dewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar