Lapisan Langit?
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi.
Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada QS 67:3 dan 71:15 sab'a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan "tujuh langit berlapis-lapis" atau "tujuh langit bertingkat-tingkat". Walaupun demikian, itu tidak bermakna tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas yang lain.
"Bertingkat-tingkat" berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak sebidang seperti titik-titik pada gambar di kertas.
Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam matematika kita mengenal istilah "tak berhingga" dalam suatu pendekatan limit, yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan "tujuh" dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Misalnya, di dalam Q.S. Luqman:27 diungkapkan, "Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah." Tujuh lautan bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya.
Sama halnya dalam Q. S. 9:80: "...Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun...." Jelas, ungkapan "tujuh puluh" bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali.
Jadi, 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu apa makna langit pertama, ke dua, sampai ke tujuh dalam kisah mi'raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, saya sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya bahwa pengertian langit dalam kisah mi'raj itu memang bukan langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar