Rabu, 09 Januari 2013

Puber ke Dua Mendengar Musik


Puber ke Dua Mendengar Musik
---Anwar Holid

Aku praktis berhenti membeli album beberapa tahun sebelum kematian mantan Presiden Suharto di awal tahun 2008. Waktu itu aku menjual sekotak koleksi terakhir kasetku buat beli sembako. Yang tersisa dari koleksiku adalah kaset atau cd yang mungkin tidak punya nilai jual, kebanyakan berupa album tanpa sleeve atau rekaman kopian karena waktu itu aku sangat kesulitan mendapat yang asli atau terlalu malas untuk beli, juga rekaman yang masuk dalam kategori "rare". Setelah penjualan itu, keinginanku untuk membeli rekaman nyaris hilang dengan sendirinya. Memang sesekali aku dihadiahi rekaman cd oleh kawan dan kenalan, atau dalam kesempatan yang sangat jarang aku beli rekaman ketika berada di kota lain. Belinya pun tidak lagi di toko musik, melainkan di toko oleh-oleh---tempat yang dari dulu kuanggap kurang pantas menjual rekaman.

Tapi meski begitu aku tetap antusias mendengar musik, menyimak album, membaca rilisan baru, atau memperhatikan berita musik. Kali ini medianya mayoritas berasal dari Internet. Sebenarnya, ini tampak sebagai kelanjutan dari kebiasaanku mencari musik-musik susah di awal tahun 2000-an, ketika aku punya akses Internet bagus. Terus terang, untuk alasan tertentu sejak itu aku pilih mendengar album via mp3 atau mwa. Ketika itu aku masih punya Walkman dan Discman dan kalau ada niat aku membuat mixtape. Tapi karena Discman boros batere, akhirnya barang itu aku jual. Waktu itu aku pikir bahwa komputer/laptop sudah bisa memuaskan antusiasmeku terhadap musik, dan ternyata keyakinan itu bertahan hingga sekarang. Apalagi sekarang aku juga punya mp3 player.

Kenapa pilih mp3? Alasan utamanya adalah karena murah. Tentu tidak bisa dibilang 100 % gratis, tapi lebih terjangkau dan yang jauh lebih penting download memungkinkan kita mendapatkan musik apa pun dan dari mana pun, bahkan mendapatkan yang tidak bisa dibeli di toko musik biasa dalam negeri. Singles, EP, reissued, remastered, maupun deluxe edition, termasuk rekaman dadakan pemusik yang hanya muncul di negeri tertentu--yang industri musiknya bagus--mustahil didapatkan di negeri ini.

Industri dalam sudut pandang mereka yang berdaya beli kecil memang menyebalkan. Kita dirayu membeli semua produk, padahal bisa jadi tidak semua artis ingin mengomersilkan karya ciptanya. Apalagi tidak setiap orang mampu membeli dan lebih ingin mendapatkan sesuatu dari penciptanya, bukan pengganda atau pemilik hak edarnya. Sejak awal, tampaknya orang lebih peduli pada musisi karena karyanya, alih-alih memilih perusahaan rekaman, meski perusahaan jelas berjasa dalam menyebarkan musik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar